Monday, November 9, 2015



Soal kode etik dalam dunia jurnalistik di Indonesia ini ibarat sunah; dilakukan berpahala, tidak dilakukan ya nggak apa-apa.
Aturan dasar yang ditetapkan Dewan Pers untuk jadi landasan kerja dan perilaku wartawan profesional di Indonesia itu, entah karena kurang gencar publikasinya atau sebab lainnya, seperti kurang populer untuk dijadikan rujukan dalam pekerjaan sehari-hari.
Baru terasa keberadaannya kalau ada pelanggaran yang dibahas di media sosial atau diadukan ke Dewan Pers lalu kasusnya terpublikasi.
Saya sendiri, sejujurnya, tak pernah benar-benar menjadikan Kode Etik Jurnalistik versi Dewan Pers sebagai pegangan. Biasanya sih sederhana saja, mengingatkan diri sendiri kalau karya jurnalistik yang baik itu: berpihak pada keperluan pembacanya, apa adanya (jujur dan memuliakan fakta), lalu dikemas secara kreatif dan mudah dicerna.
Tapi agar kita sama-sama ingat apa saja poin-poin penting dalam kode etik itu (supaya lebih sah juga kewartawanannya), saya coba rangkum 11 hal penting yang termuat dalam Kode Etik Jurnalistik versi Dewan Pers:

1. Bersikap independen!

Kalau menurut kamus, independen itu bebas atau merdeka. Dalam hal ini artinya kurang lebih bebas atau merdeka dari pengaruh atau paksaan pihak lain. Menyajikan berita apa adanya sesuai fakta, bukan berita pesanan atau ditulis dengan perasaan senang karena dikirimi gadget terbaru.

2. Profesional dalam menjalankan tugas.

Kurang lebih sama dengan poin pertama. Profesional di sini juga berarti terbuka menjelaskan sumber pelengkap tulisan, foto atau video yang dimuat. Contohnya: memberi tautan sumber asli jika mengutip dari situs lain (ini nyaris tidak pernah dilakukan di kebanyakan media di Indonesia yang saya amati).

3. Jangan asal tuduh!

Poin ini lagi ngetren dilanggar belakangan ini. Mungkin karena terdesak harus cepat terbit, sehingga tak cukup waktu untuk menguji informasi dan memastikan tidak ada opini menghakimi yang tercampur dengan fakta. Intinya sih, jangan pernah percaya sesuatu kalau belum benar-benar terbukti.

4. Dilarang berbohong.

Salah satu akibat dari meremehkan poin ketiga adalah berbohong, dan ini tidak baik teman-teman. Janganlah mengada-ada apalagi melakukan fitnah.

5. Bijak menangani identitas korban atau pelaku kejahatan.

Bijaksana ini sulit mengukurnya, tapi kalau saya biasanya sih sederhana saja: korban, pelaku dan anak (berusia kurang dari 17 tahun) yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan peristiwa, dirahasiakan identitasnya.

6. Tidak memanfaatkan profesi untuk kepentingan pribadi.

Contohnya menerima suap, memotong antrean di kantor pelayanan publik, atau menghindari denda dari polisi saat melanggar aturan lalu lintas. Tapi kalau untuk masuk konser gratis, ya sekali-kali boleh lah ;p

7. Melindungi narasumber.

Wartawan punya hak tolak memberikan informasi identitas atau keberadaan narasumbernya; juga harus menghargai ketentuan embargo (penentuan waktu tayang berita berdasarkan permintaan narasumber), melindungi informasi detail narasumber jika diminta, dan menjaga keterangan narasumber yang disepakati, misal: off-the-record.

8. Hormati keberagaman!

Janganlah kita menyiarkan berita berdasarkan prasangka atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa; juga soal status seperti miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

9. Berpegang pada kepentingan publik.

Memang, wartawan harus menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya. Tapi kalau ada bagian dari kehidupan itu yang terkait dengan kepentingan publik, maka tak apalah diungkapkan (contoh: harta hasil korupsi).

10. Berani mengakui kesalahan.

Wartawan juga manusia, sesekali bisa salah. Saat itu terjadi, mengakulah. Lakukan ralat dan perbaiki kekeliruan secara terbuka. Lengkapi dengan permintaan maaf pada pembaca, pendengar atau penonton medianya.

11. Menerima koreksi pada bagian yang keliru.

Terkait salah tadi, ada pula yang namanya hak jawab dan hak koreksi; yang merupakan hak seseorang atau kelompok untuk menanggapi dan menyanggah informasi yang dianggap merugikan nama baiknya, atau mengusulkan perbaikan atas kekeliruan fakta yang termuat pada berita.

sumber :
http://journoo.com/11-kode-etik-jurnalistik-yang-sebaiknya-dipatuhi/

Wednesday, November 4, 2015

Perpustakaan merupakan lembaga penyedia informasi yang ketinggalan zaman, sedangkan internet merupakan gelombang informasi yang mendunia. antara perpustakaan dan internet terjadi persaingan. Itu adalah realitanya. Hadirnya internet sebagai media informasi menjadikan perpustakan mulai tersisih. Pengguna yang membutuhkan informasi lebih cenderung mencari bahan internet ketimbang perpustakaan. Ini disebabkan karena pencarian bahan di internet lebih instan dan tidak memerlukan proses panjang yang terkadang memakan banyak waktu. Sedangkan kalau meminjam buku di perpustakaan ada syarat-syarat tertentu, seperti harus mempunyai kartu perpustakaan tersebut, biasanya maximal hanya 2 buku, dan di batasi waktu, apabila terlambat masih kena denda. Itulah kenapa perpustakaan menjadi lembaga yang tertinggal serta kehilangan eksistensinya sebagai lembaga penyedia informasi. Karena semakin kesini orang semakin berminat dengan hal yang instan dan mudah.
Saya mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi semester 5 di universitas semarang. Sejak semester satu saya sudah mempunyai kartu anggota perpustakaan fakultas maupun perpustakaan universitas, bahkan sebelumnya saya sudah memiliki kartu anggota perpustakaan kota semarang. Awalnya sih setiap ada tugas saya sering bolaik balik perpustakaan. Apalagi kalau dosen yang memberi tugas mewajibkan menyertakan daftar pustaka. Karena membuat kartu perpustakaan membutuhkan waktu, sedangkan tugas harus segera dikumpulkan,sering juga saya meminjamkan kartu anggota perpustakaan kepada teman.
Seiring berjalannya waktu yang semakin banyak tugas dan kerjaan semakin banyak, akhirnya saya berpindah haluan ke internet. Lebih hemat waktu, ongkos bensin dan juga lebih praktis. Karena saya merupakan anak modern yang menyukai hal yang lebih efisien dan mudah, maka sampai sekarang saya menggunakan internet sebagai bahan baca. Apalagi setiap ada hal baru internet selalu lebih awal dari pada buku dalam hal updatenya.
Melansir masalah internet dan perpustakaan memang tidak ada habisnya. Sebaiknya kita menyikapi bahwa kedua hal tersebut saling melengkapi. Jika informasi yang kita butuhkan tidak ada di media cetak pastilah kita masih bias mencarinya di media online. Dan sebaliknya media online membutuhkan referensi yang valid dari buku buku di perpustakaan

Lencana Facebook

Popular Posts

Popular Posts