Opini publik adalah pengumpulan citra yang diciptakan oleh proses komunikasi.
Gambaran tentang sesuatu akan menimbulkan banyak tafsir bagi para peserta
komunikasi. Sesuatu akan berbentuk abstrak atau konkret dan selalu bermuka
banyak atau berdimensi jamak karena adanya berbagai perbedaan penafsiran
(persepsi) yang terjadi di antara peserta komunikasi. Pergeseran citra pada
opini publik ini tergantung pada siapa saja yang terlibat dalam proses
komunikasi. Setiap kali jaringan komunikasi berubah, opini publik juga berubah.
Perubahan opini publik merupakan “dinamika komunikasi”, sedangkan substansi
opini publik tidak berubah. Substansi tidak berubah karena ketika proses pembentukan
opini publik berlangsung, pengalaman dari peserta komunikasi itu telah terjadi.
Menurut Redi Panuju ada beberapa factor yang
menyebabkan dinamika opini public :
1)
FAKTOR PSIKOLOGIS
Tidak ada
kesamaan antara individu yang satu dengan lainnya, yang ada hanya kemiripan
yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaanmas antar individu yang meliputi hobi,
kepentingan, pengalaman, selera, dan kerangka berpikir menjadikan setiap
individu berbeda bentuk dan cara merespon stimulus atau rangsangan yang menghampirinya.
Perbedaan faktor psikologis menyebabkan pemaknaan terhadap kenyataan yang sama
bisa menghasilkan penyandian yang berbeda-beda. Bisa saja output komunikasi
tidak sama dengan input komunikasi karena perbedaan beberapa unsur yang bekerja
dalam seleksi internal yang meliputi dimensi pemikiran (kognisi) dan dimensi
emosi (afeksi).
Contoh :
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering
terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan hanya antar pelajar SMU, tapi juga
sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi
adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar, tawuran ini sering terjadi, data di
Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus
perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan
10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar
dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15
pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37
korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban
cenderung meningkat, bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai
tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak,
paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar.
Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas
mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas.
Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta
fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses
belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para
pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian
dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan
adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya
memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir
ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup
bermasyarakat di Indonesia.
pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan,
berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak
mendukung hal ini, dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di
antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya,
yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari
keluarga mampu secara ekonomi, tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah
yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga
pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana
itu, terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor
sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas
(kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti
angkutan umum dan tata kota.
perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan
sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency), kenakalan
remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi
yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian
terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi.
Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah
secara cepat, sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat
perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini
ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk
berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang
diharapkan oleh kelompoknya.
2)
FAKTOR SOSIOLOGI
BUDAYA
Opini publik terlibat dalam interaksi sosial.
a.Opini publik menunjukkan citra superioritas
b. Opini publik menunjukkan keikutsertaan individu ke kejadian tertentu
c. Opini publik berhubungan dengan citra, rencana, dan operasi (action)
d. Opini publik sesuai dengan kemauan banyak orang
e. Opini publik identik dengan hegemoni ideology
Contoh :
Kekuasaan negara ada
yang berdampak positif dan negatif, seperti yang di ceritakan film yang
berjudul the new rules of the world diproduksi pada tahun 2002. Film
tersebut menceritakan penguasa baru dunia yang berpengaruh terhadap kekuasaan
negara di Indonesia. Tidak hanya pemimpin negara yang bisa menguasai negara
tetapi pengusaha yang sukses, memiliki modal atau harta yang berlimpah bisa
menguasai bangsa negara ini. Pengusaha yang dari luar negeri membangun usaha di
negeri ini begitu sukses, menciptakan merek-merek produk terkenal didunia yang
dikerjakan oleh buruh Indonesia dengan upah yang sangat mengiris hati dan jam
kerja yang tak kenal waktu.
Keuntungan dari
penjualan produk yang membawa kejayaan bagi si pemilik usaha namun orang-orang
yang bekerja di perusahaannya menderita. Pemerintah pun tak bisa berkutik
menaggapi hal tersebut karena uang bisa melumpuhkan peran pemerintah untuk
mensejahterakan rakyat. Hal tersebut bisa membawa opini publik yang negatif
yakni rakyat tak percaya dengan kinerja pemerintah. Kode etik yang dibuat oleh
perusahaan seakan-akan hanya untuk keamanan pemilik dan perusahaan, tidak untuk
keamanan para buruh.
Saat rezim Soeharto,
bank dunia telah meminjamkan uang untuk negara ini namun kenyataannya uang
tersebut tidak dipakai oleh rakyat tapi diambil oleh Soeharto sendiri. Alhasil
dari generasi ke generasi dari bangsa ini harus membyar hutang itu, yang diatur
oleh pemerintah dengan cara meningkatkan biaya pendidikan, kesehatan,
pertanian, dan lain-lain. Meskipun negara ini sangat kaya dengan sumber daya
alamnya namun manusianya tetap miskin karena segala macam masalah perekonomian
negara ini. Dari politik dan berpolitikan ke kerja nyata untuk memperbaiki
perikehidupan sosial ekonomi negara dan masyarakat dan mengambil sikap terbuka
sehingga bisa memanfaatkan sumber hubungan, bantuan dan kerja sama internasional.
Adalah kecerdasan Presiden Soeharto dan keterbukaannya yang tahu diri.
Masa jabatan Soeharto
sebagai presiden selama 32 tahun ini dinilai masyarakat Indonesia terlalu lama
dan menimbulkan banyaknya prespektif negatif mengenai gaya kepemimpinan Pak Harto.
Media turut mendukung dalam membentuk opini publik yang mengatakan bahwa
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Soeharto kurang tepat dan Pemerintahan
pada saat itu dianggap banyak yang melakukan korupsi, sehingga menyebabkan
hutang Negara melambung tinggi.
Indonesia yang
memiliki sistem politik yang demokrasi merupakan landasan bagi bangsa untuk
bersuara bebas didepan khalayak salah satu contohnya yakni oponi publik. Negara
dalam keadaan krisis kepercayaan seperti di Indonesia sat turunnya kepemimpinan
Soeharto sampai saat ini, opini publik mampu menempatkan kedudukan yang tinggi.
Opini publik yang sering terjadi yakni dari kalangan Mahasiswa, mahasiswa
sering disebut merupakan tambang emas masyarakat karena mampu menyuarakan
kritikannya terhadap problematika negara. Kritikan yang dilakukan mahasiswa
sering dilakukan dengan cara berdemo, Demonstrasi yang marak terjadi di
kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia telah menempatkan begitu
diseganinya publik kampus sehingga opini publik yang berasal dari kampus ini
menjadi berita utama media massa di Indonesia.
Opini publik
menampakkan kekuatan yang besar sekali sebagai sarana pemersatu atau kesatuan
menghadapi segala sesuatu yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya di
negara Indonesia. Opini para mahasiswa di kampus-kampus terkenal, baik PTN
maupun PTS menjadi perhatian utama untuk pemegang kebijaksanaan pemerintahan
Negara Indonesia. Suara atau opini publik kampus, menjadi pemberitaan di media
massa pers baik surat kabar, majalah-majalah berita, ataupun internet. Demikian
juga pada media massa televisi, hampir setiap stasiun televisi swasta
menayangkan gerakan mahasiswa di kampus-kampus yang berisi pernyataan mereka
dalam menghadapi krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Opini mahasiswa ini
adalah opini publik kampus menghadapi situasi ekonomi, politik, dan
sosial-budaya yang melanda Indonesia. Krisis kepercayaan pada pemerintah ini
tidak dapat membentuk opini publik keseluruhan masyarakat yang menaruh
perhatian pada situasi yang berat di negara Indonesia. Opini publik yang
berasal dari gerakan mahasiswa ini merupakan kekuatan yang patut diperhatikan
oleh pemerintah dengan aparaturnya dalam menentukan kebijaksanaan yang tepat
untuk mengatasi segala permasalahan yang melanda negara Indonesia. Keputusan
yang tepat yang akan diambil pemerintah, patut memperhatikan kekuatan opini
publik yang berasal dari gerakan mahasiswa. Opini publik yang berasal dari
kampus jangan dicurigai sebagai sesuatu yang membahayakan, tetapi pemerintah
perlu memasukkan sebagai suatu masukkan yang berharga.
3)
FAKTOR BUDAYA
Budaya mempunyai
pengertian yang beragam. Budaya adalah seperangkat nilai yang digunakan
mengelola, memelihara hidupnya, menjaga dari gangguan internal maupun
eksternal, dan mengembangkan kehidupan manusia. Nilai-nilai yang terhimpun
dalam sistem budaya itu oleh individu dijadikan identitas sosialnya atau
dijadikan ciri-ciri keanggotanyadikomunitasbudayatertentu.
Para budayawan di Indonesia pernah menggagas nilai-nilai yang seharusnya dikembangkan bangsa Indonesia ke depan. Misalnya, mereka membedakan budaya Indonesia dari budaya Jawa dan Batak. Untungnya, dalam masyarakat kita masing-masing kelompok budaya sudah dibekali nilai-nilai toleransi sehingga perbedaan-perbedaan hanya terkumpul dalam opini publik, tetapi tidak meledak ke dalam konflik terbuka.
Para budayawan di Indonesia pernah menggagas nilai-nilai yang seharusnya dikembangkan bangsa Indonesia ke depan. Misalnya, mereka membedakan budaya Indonesia dari budaya Jawa dan Batak. Untungnya, dalam masyarakat kita masing-masing kelompok budaya sudah dibekali nilai-nilai toleransi sehingga perbedaan-perbedaan hanya terkumpul dalam opini publik, tetapi tidak meledak ke dalam konflik terbuka.
Contoh :
Tragedi kriminalisasi KPK seperti halnya drama politik yang
akhir-akhir ini mampu membius jutaan masyarakat indonesia.Bagaimana tidak
program 100 hari bagi kabinet bersatu jilid 2 saja tidak mampu mengalahkan
rating kriminalisasi KPK ini.Jikalaupun ada semacam penghargaan bagi actor
politik dan drama politik pastilah KPK akan menyabet seabrek penghargaan di
samping rival ketatnya yaitu kepolisian kita.Saling menghujat sana-sini, dengan
berbagai bukti, yang entah kebenarannya masih dalam pengujian.Kita tentu
masih ingat ketika kita dalam persidangan di MK, suswono, mantan kabareskrim,
yang katanya di pecat, dengan nada penyesalan dia dan menyebut nama Allah
mengungkapkan bahwa dirinya bener-bener tidak sesuai dengan apa yang di
tuduhkan.Mungkin jika kita mencermati kejadian itu, tentu kita akan terbawah
emosi, dimana kita akan membenarkan apa yang di katakana olehnya.
Dan pada perkembangan terakir akhir-akhri ini, kita masih ingat
ketika tersangkah pembunuhan Nasrudin,direktur rajawali, yaitu antasari mantan
ketua KPK.Setelah mendengar kesaksian yang mengemparkan persidangan, yaitu dari
pengakuan si x menangis teseduh-seduh,”kebenaran sudah mulai terungkap”, itu
adalah salah satu petikan kata yang sempat di lontarkan antasari.Kita juga
masih ingat ketika kapolri memberikan klarifikasi di depan komisi 3 DPR, ada
salah sala satu kutipan beliau,yaitu menyebutkan bahwa terdakwa bibit-candra di
sinyalir melakukan pemerasan.setelah di kroscek ternyata itu masih dalam dugaan
sementara.ibaratnya suasana perpolitikan kita seperti halnya “panggung
sandiwara kaum berdasi”.
Terlepas dari permaslahan itu, akhir-akhir ini ada indikasi bahwa
system perpolitkan di Negara kita mulai mengalami masa-masa transisi.Dimana
perpolitikan kita sangat muda di dibuat seperti halnya sebuah permainan
strategi, guna memenuhi kepentingan pribadi dan para antek-antek politik kita.Dan akhirnya
yang ada adalah kepentingan rakyat menjadi korban.Tapi anehnya dalam
suatu konflik politik muncul fenomena “politik heroid”, dimana muncul sosok
yang menjadi pujaan rakyat.kita masih ingat munculnya gerakan
1.000.000 pendukung KPK di dunia maya.Tentunya ini hal yang sangat
lumrah,karena rakyat punyak standar siapa para politikus yang baik dan yang tidak.Namun alangkah
baiknya sifat “netralisasi” masyarakat harus lebih di tonjolkan,Masyarakat
seharusnya difungsikan sebagai control atas berjalannya sufermasi hukum di
Negara ini.Jadi masyarkat kita fungsikan sebagai pengadilan rakyat.Dan pada
akhirnya yang adalah bukan saling dukung-mendukung salah satu lembaga, namun
lebih mendukung pada nilai-nilai kebenaran berdasarkan hokum yang berlaku.
4)
FAKTOR MEDIA MASSA
Menurut Meyer,
yang dikutip Redi Panuju, interaksi antara media dan institusi masyarakat
menghasilkan produk berupa isi media (media content). Audiens menyebabkan isi
media diubah menjadi gugusan-gugusan makna. Apakah yang dihasilkan dari proses
penyandian pesan itu, menurut Meyer, sangat ditentukan oleh norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, pengalaman individu yang lalu, kepribadian individu, dan
selektivitas penafsiran.
Contoh :
Gempa yang terjadi di
Sumatera Barat dapat menimbulkan kesan yang sama pada orang di Bandung atau di
Samarinda. Persepsi mereka terhadap pemberitaan media massa akan cenderung
sama, yaitu sedih, iba, ingin membantu, dan sebagainya. Hal ini tentunya
membawa dampak positif bagi masyarakat, yakni membantu mempercepat masyarakat
untuk mendapat informasi terbaru mengenai suatu peristiwa. Media massa juga
membantu masyarakat untuk menolong korban gempa di pariaman dan sekitarnya,
dengan pemberitaan bantuan untuk korban gempa, seperti "X peduli gempa
padang", "dompet amal gempa padang" dan sebagainya. Ada juga
dampak negatif dari menjadi nyatanya konsep desa global ini, yakni siapapun dapat
mengakses apapun, misalnya anak kecil yang dapat mengakses berita kekerasan
lewat tayangan televisi, atau melihat video porno di internet. Masyarakat sendiri yang harus bisa menyaring apa yang mereka anggap baik
mereka.



